Asisten Administrasi Umum, Sunarto, SH.MM. sedang membuka acara Saraserah Hari Pahlawan
Sarasehan pada hari pahlawan yang dilaksanakan di Pemda II Manding Trirenggo Bantul berjalan lancar. Ratusan siswa pramuka dan pejabat Bantul hadir dan menyimak paparan tentang perjalanan bangsa ini meraih kemerdekaan.
Keberadaan pahlawan akan selalu dikenang bila generasi muda mampu memberikan penghargaan terbaik. Perjalanan sejarah bangsa selalu dipenuhi liku-liku perjuangan yang diisi para pejuang yang dengan iklas dan gagah berani mengorbankan baik moril maupun materiil bahkan nyawanya. Hal tersebut dikatakan Asisten Administrasi Umum, Sunarto, SH.MM. saat pembukaan sarasehan di Aula Pemda II Manding , Senin )9/11).
Pemkab Bantul sangat apresiasi dengan segenap panitia yang telah berkomitmen memperingati hari pahlawan dengan berbagai kegiatan. Disamping itu juga sangat senang dengan semangat anggota pramuka dan karang taruna yang ikut menyukseskan semua kegiatan didalamnya.
Acara yang mengundang nara sumber mantan Bupati Bantul, Drs. H. Idham Samawi dan Ki Sutikno dari akademisi Taman Siswa tersebut mengulas peran serta Ki Hajar Dewantoro (KHD).
Ki Hajar yang masa kecilnya bernama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, sejak 1922 menjadi Ki Hadjar Dewantara, lahir di Yogyakarta, 2 Mei1889 – meninggal , 26 April 1959 adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, serta pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda.
Tanggal kelahirannya sekarang diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional. Bagian dari semboyan ciptaannya, tut wuri handayani, menjadi slogan Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia.
Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Sejak berdirinya Boedi Oetomo(BO) tahun 1908, ia aktif menyosialisasikan kepada masyarakat Indonesia (terutama Jawa) mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Sewaktu pemerintah Hindia Belanda berniat mengumpulkan sumbangan dari warga, termasuk pribumi, untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari Perancis pada tahun 1913, timbul reaksi kritis dari kalangan nasionalis, termasuk Soewardi. Ia kemudian menulis “Een voor Allen maar Ook Allen voor Een” atau “Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga”. Namun kolom KHD yang paling terkenal adalah “Seandainya Aku Seorang Belanda” (judul asli: “Als ik een Nederlander was”), dimuat dalam surat kabar De Expres pimpinan DD, 13 Juli 1913. Isi artikel ini terasa pedas sekali di kalangan pejabat Hindia Belanda. Akibatnya beliau diasingkan ke negeri belanda.
Soewardi kembali ke Indonesia pada bulan September 1919 dan bergabung dalam sekolah binaan saudaranya. Pengalaman mengajar ini kemudian digunakannya untuk mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang ia dirikan pada tanggal 3 Juli 1922: Perguruan Nasional Tamansiswa. Saat ia genap berusia 40 tahun menurut hitungan penanggalan Jawa, ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara.
Semboyan dalam sistem pendidikan dalam bahasa Jawa berbunyi ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. (“di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan”).
Dalam kabinet pertama Republik Indonesia, dirinya diangkat menjadi Menteri Pengajaran Indonesia yang pertama. Pada tahun 1957 ia mendapat gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa, Dr.H.C.) dari universitas tertua Indonesia, Universitas Gadjah Mada. Atas jasa-jasanya dalam merintis pendidikan umum, ia dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan hari kelahirannya dijadikan Hari Pendidikan Nasional (Surat Keputusan Presiden RI no. 305 tahun 1959, tanggal 28 November 1959). (mw)